Sabtu, 29 November 2008

Orang Tua Dituntut Memahami Remaja

Tulisan ini mencoba mengangkat kembali fenomena perilaku remaja yang memerlukan perhatian dari berbagai pihak khususnya keluarga. Suatu hal yang menarik dalam kehidupan sehari-hari remaja selalu menjadi sorotan. Baik itu di sekolah, di masyarakat maupun dalam keluarga. Terlebih lagi para remaja itu sebagian besar anak-anak yang terdidik. Maka banyak pihak kaget dan heran ketika mendengar seorang remaja usia 17 tahunan memperkosa gadis dibawah umur, mencuri, merampok bahkan membunuh kedua orangtuanya sendiri.

Mula-mula yang terdengar memang hanya sering terjadi di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Jogyakarta, dan Surabaya tetapi sekarang menjalar sampai ke daerah-daerah. Inilah pengaruh media massa. Banyak kejadian kota besar yang segera diketahui daerah dan ada semacam kecendrungan daerah untuk meniru kejadian di pusat.

Di lain pihak, remaja sendiri merasakan tuntutan hidup yang semakin kompleks dan tidak ringan. Di satu sisi mereka berhadapan dengan banyak teori atau idealisme, tetapi disisi lain mereka berhadapan dengan banyak kenyataan yang tidak sesuai dengan idealisme dan nalarnya. Bagi sebagian remaja, fungsi sekolah tidak lebih dari sekedar menyenangkan orang tua. Mereka melihat apa artinya sekolah kalau pekerjaan saja sangat kurang. Dan belum tentu begitu lulus dapat kerja, paling-paling menjadi penganggur. Mereka juga melihat banyak orang yang hanya dalam sekejap saja dapat menjadi kaya raya. Banyak orang dengan mudahnya menjadi terkenal tanpa harus berjuang bahkan tanpa pendidikan yang tinggi. Hal ini juga sangat berpengaruh dalam cara pandang remaja menghadapi permasalahan disekitarnya.

Mereka juga merasa kurang kesibukan dalam kehidupan kesehariannya. Tidak semua sekolah mengadakan kegiatan ekstrakurikuler untuk menyalurkan bakat dan minat anak-anak remaja. Mengaktualisasikan dirinya lewat kegiatan, entah pramuka, mendaki gunung, marathon, atau olahraga yang semuannya bertujuan untuk membuat remaja sibuk dan berkembang.

Banyak pemberitaan mengenai kenakalan remaja mau tak mau berpengaruh pada kehidupan remaja yang lain. Remaja yang mula-mulanya baik dan alim dapat juga tiba-tiba berubah menjadi brutal. Lebih-lebih remaja yang belum mampu mengendalikan emosinya. mereka berada dalam posisi yang masih labil, mudah terbakar oleh isu-isu.Ada keluhan demikian, ‘Bagaimana mungkin betah di rumah kalau orang tua saja tidak pernah di rumah’. Kalaupun ada di rumah yang dibicarakan soal pekerjaan dan kesuksesan. Kesulitan sebagai remaja tidak pernah mereka pahami. Yang selalu diharapkan hanya sekolah berhasil dan berprestasi kemudian bisa bekerja. Dan mereka hanya menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak pada lembaga pendidikan tertentu dengan jaminan uang sekolah.

Orang tua selalu memberikan idola-idola yang telah sukses dan membanding-bandingkan dengan anak orang lain. Disini lalu muncul keluhan bahwa remaja kurang dihargai dimata orang tuanya. Si remaja merasakan bahwa perhatian orangtua kurang mendasar. Pendekatan psikologis dari orang tua terhadap anak kurang. Semakin perlu bahwa orang tua mengkomunikasikan dirinya pada anak-anaknya. Meski sibuk bagaimanapun, orang tua perlu menyediakan waktu khusus untuk kegiatan ini. Mungkin hanya sharing pengalaman kecil dan sederhana tapi itu perlu untuk menumbuhkan sikap terbuka pada diri anak.

Pendidikan Moral, Pendidikan dalam hal ini memegang peranan yang amat penting. Baik itu pendidikan di sekolah maupun dalam keluarga. Kalau anak semenjak dini ditanami dengan nilai-nilai moralitas yang baik, amat kecil kemungkinannya untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji. Sehingga perlu pendidikan sopan santun dalam keluarga maupun sekolah semenjak masih duduk di sekolah dasar. Di samping itu juga perlu pendidikan agama yang seimbang dengan perkembangan usia anak. Dan yang tidak kalah penting adalah mengajak remaja untuk melihat kenyataan yang sesungguhnya. Sebab, kalau anak mampu melihat kenyataan dan kejadian yang ada disekitarnya kiranya tidak ada masalah. Kalau miskin terimalah apa adanya dan berusahalah dengan baik.

Demikian juga kalau remaja yang kebetulan anak orang kaya jangan sombong. Tentu saja penanaman sikap ini perlu proses yang panjang. Perlu ada usaha dan kerjasama baik orang tua, guru maupun lingkungan disekitar remaja itu sendiri. Hal yang tidak kalah pentingnya, yaitu menanamkan sikap percaya diri dalam diri remaja. Percaya akan diri sendiri dan kemampuan diri sendiri amatlah penting. Remaja diajak utnuk melihat diri sendiri secara utuh. Melalui pendidikan di sekolah dan dalam keluarga hendaknya ditanamkan sikap solider terhadap orang lain. Sikap solider terhadap mereka yang menderita dan sengsara.Kiranya jelas, bahwa masalah yang timbul dalam diri remaja pada dasarnya berakar pada mereka sendiri dan penyelesaiannya ada dalam diri mereka sendiri dengan dibantu orang-orang disekitarnya. Dan mudah-mudahan citra remaja yang telah banyak rusak dan ternodai semakin berkurang. Amin..

Oleh Ambar Kusuma A (Penulis adalah pemerhati masalah pendidikan dan kini sedang studi Psikologi UMM)

BEBERAPA PERMASALAHAN REMAJA

Team e-psikologi Jakarta, 13 Agustus 2002

Bagi sebagian besar orang yang baru berangkat dewasa bahkan yang sudah melewati usia dewasa, remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup mereka. Kenangan terhadap saat remaja merupakan kenangan yang tidak mudah dilupakan, sebaik atau seburuk apapun saat itu. Sementara banyak orangtua yang memiliki anak berusia remaja merasakan bahwa usia remaja adalah waktu yang sulit. Banyak konflik yang dihadapi oleh orangtua dan remaja itu sendiri. Banyak orangtua yang tetap menganggap anak remaja mereka masih perlu dilindungi dengan ketat sebab di mata orangtua para anak remaja mereka masih belum siap menghadapi tantangan dunia orang dewasa. Sebaliknya, bagi para remaja, tuntutan internal membawa mereka pada keinginan untuk mencari jatidiri yang mandiri dari pengaruh orangtua. Keduanya memiliki kesamaan yang jelas: remaja adalah waktu yang kritis sebelum menghadapi hidup sebagai orang dewasa.

Sebetulnya, apa yang terjadi sehingga remaja merupakan memiliki dunia tersendiri. Mengapa para remaja seringkali merasa tidak dimengerti dan tidak diterima oleh lingkungan sekitarnya?. Mengapa remaja seolah-olah memiliki masalah unik dan tidak mudah dipahami?

Masa Remaja
Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah (atau sedang) mengalami pubertas namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Ia belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa, meski di saat yang sama ia juga bukan anak-anak lagi. Berbeda dengan balita yang perkembangannya dengan jelas dapat diukur, remaja hampir tidak memiliki pola perkembangan yang pasti. Dalam perkembangannya seringkali mereka menjadi bingung karena kadang-kadang diperlakukan sebagai anak-anak tetapi di lain waktu mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa.
Memang banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan, namun seringkali perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan sebagai pengesahan akan keremajaan seseorang. Namun satu hal yang pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin kompleks seiring dengan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri mereka. Untuk dapat memhami remaja, maka perlu dilihat berdasarkan perubahan pada dimensi-dimensi tersebut.

Dimensi Biologis
Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja putri atau pun perubahan suara pada remaja putra, secara biologis dia mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas menjadikan seorang anak tiba-tiba memiliki kemampuan untuk ber-reproduksi.
Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone (FSH); dan 2). Luteinizing Hormone (LH). Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone: dua jenis hormon kewanitaan. Pada anak lelaki, Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating Hormone (ICSH) merangsang pertumbuhan testosterone. Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut di atas merubah sistem biologis seorang anak. Anak perempuan akan mendapat menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain itu terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, dll. Anak lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosterone. Bentuk fisik mereka akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka pada dunia remaja.

Dimensi Kognitif

Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka.
Pada kenyataan, di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini. Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu operasional konkrit, dimana pola pikir yang digunakan masih sangat sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi. Hal ini bisa saja diakibatkan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak menggunakan metode belajar-mengajar satu arah (ceramah) dan kurangnya perhatian pada pengembangan cara berpikir anak. penyebab lainnya bisa juga diakibatkan oleh pola asuh orangtua yang cenderung masih memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga anak tidak memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus sekolah menengah, sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik.
 
Dimensi Moral
Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik. Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut.
Peranan orangtua atau pendidik amatlah besar dalam memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Orangtua yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik. Orangtua yang tidak mampu memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang remaja tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua dan nilai yang dianutnya. Ini bisa menjadi berbahaya jika “lingkungan baru” memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan mulai menajam. (Baca juga artikel: Perkembangan Moral)
 
Dimensi Psikologis
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis.

Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleksikan (self-image). Remaja cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran. Remaja putri akan bersolek berjam-jam di hadapan cermin karena ia percaya orang akan melirik dan tertarik pada kecantikannya, sedang remaja putra akan membayangkan dirinya dikagumi lawan jenisnya jika ia terlihat unik dan “hebat”. Pada usia 16 tahun ke atas, keeksentrikan remaja akan berkurang dengan sendirinya jika ia sering dihadapkan dengan dunia nyata. Pada saat itu, Remaja akan mulai sadar bahwa orang lain tenyata memiliki dunia tersendiri dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi atau pun dipikirkannya. Anggapan remaja bahwa mereka selalu diperhatikan oleh orang lain kemudian menjadi tidak berdasar. Pada saat inilah, remaja mulai dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk menyesuaikan impian dan angan-angan mereka dengan kenyataan.

Para remaja juga sering menganggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali mereka terlihat “tidak memikirkan akibat” dari perbuatan mereka. Tindakan impulsif sering dilakukan; sebagian karena mereka tidak sadar dan belum biasa memperhitungkan akibat jangka pendek atau jangka panjang. Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertangung-jawabkan perbuatan mereka, akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih percaya-diri, dan mampu bertanggung-jawab. Rasa percaya diri dan rasa tanggung-jawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan jati-diri positif pada remaja. Kelak, ia akan tumbuh dengan penilaian positif pada diri sendiri dan rasa hormat pada orang lain dan lingkungan. Bimbingan orang yang lebih tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana menghadapi masalah itu sebagai “seseorang yang baru”; berbagai nasihat dan berbagai cara akan dicari untuk dicobanya. Remaja akan membayangkan apa yang akan dilakukan oleh para “idola”nya untuk menyelesaikan masalah seperti itu. Pemilihan idola ini juga akan menjadi sangat penting bagi remaja. (Baca juga artikel: Remaja & Tokoh Idola)

Salah satu topik yang paling sering dipertanyakan oleh individu pada masa remaja adalah masalah "Siapakah Saya?" Pertanyaan itu sah dan normal adanya karena pada masa ini kesadaran diri (self-awareness) mereka sudah mulai berkembang dan mengalami banyak sekali perubahan. Remaja mulai merasakan bahwa “ia bisa berbeda” dengan orangtuanya dan memang ada remaja yang ingin mencoba berbeda. Inipun hal yang normal karena remaja dihadapkan pada banyak pilihan. Karenanya, tidaklah mengherankan bila remaja selalu berubah dan ingin selalu mencoba – baik dalam peran sosial maupun dalam perbuatan. Contoh: anak seorang insinyur bisa saja ingin menjadi seorang dokter karena tidak mau melanjutkan atau mengikuti jejak ayahnya. Ia akan mencari idola seorang dokter yang sukses dan berusaha menyerupainya dalam tingkahlaku. Bila ia merasakan peran itu tidak sesuai, remaja akan dengan cepat mengganti peran lain yang dirasakannya “akan lebih sesuai”. Begitu seterusnya sampai ia menemukan peran yang ia rasakan “sangat pas” dengan dirinya. Proses “mencoba peran” ini merupakan proses pembentukan jati-diri yang sehat dan juga sangat normal. Tujuannya sangat sederhana; ia ingin menemukan jati-diri atau identitasnya sendiri. Ia tidak mau hanya menurut begitu saja keingingan orangtuanya tanpa pemikiran yang lebih jauh.

Banyak orangtua khawatir jika “percobaan peran” ini menjadi berbahaya. Kekhawatiran itu memang memiliki dasar yang kuat. Dalam proses “percobaan peran” biasanya orangtua tidak dilibatkan, kebanyakan karena remaja takut jika orangtua mereka tidak menyetujui, tidak menyenangi, atau malah menjadi sangat kuatir. Sebaliknya, orangtua menjadi kehilangan pegangan karena mereka tiba-tiba tidak lagi memiliki kontrol terhadap anak remaja mereka. Pada saat inilah, kehilangan komunikasi antara remaja dan orangtuanya mulai terlihat. Orangtua dan remaja mulai berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda sehingga salah paham sangat mungkin terjadi.

Salah satu upaya lain para remaja untuk mengetahui diri mereka sendiri adalah melalui test-test psikologis, atau yang di kenal sebagai tes minat dan bakat. Test ini menyangkut tes kepribadian, tes intelegensi, dan tes minat. Psikolog umumnya dilatih untuk menggunakan alat tes itu. Alat tes yang saat ini umum diberikan oleh psikolog di Indonesia adalah WISC, TAT, MMPI, Stanford-Binet, MBTI, dan lain-lain. Alat-alat tes juga beredar luas dan dapat ditemukan di toko buku atau melalui internet; misalnya tes kepribadian.

Walau terlihat sederhana, dampak dari hasil test tersebut akan sangat luas. Alat test psikologi dapat diibaratkan sebuah pisau lipat yang terlihat sekilas tidak berbahaya; namun di tangan orang yang “bukan ahlinya” atau yang kurang bertanggung-jawab, alat ini akan menjadi sangat berbahaya. Alat test jika diinterpretasikan secara salah atau tidak secara menyeluruh oleh orang yang tidak berpengalaman atau tidak memiliki dasar ilmu yang cukup untuk mengartikan secara obyektif akan membuat kebingungan dan malah membawa efek negatif. Akibatnya, para remaja akan merasa lebih bingung dan lebih tidak merasa yakin akan hasil tes tersebut. Oleh karena itu sangatlah dianjurkan untuk mencari psikolog yang memang sudah terbiasa memberikan test psikologi dan memiliki Surat Rekomendasi Ijin Praktek (SRIP), sehingga dapat menjamin obyektivitas test tersebut.

Satu hal yang perlu diingat adalah hasil test psikologi untuk remaja sebaiknya tidak ditelah mentah-mentah atau dijadikan patokan yang baku mengingta bahwa masa remaja meruipakan masa yang snagat erat dengan perubahan. Alat test ini tidak semestinya dijadikan buku primbon atau acuan kaku dalam penentuan langkah untuk masa depan, misalnya dalam mencari sekolah atau mencari karir yang cocok. Seringkali, seiring dengan perkembangan remaja dan perubahan lingkungan sekitarnya, konklusi yang diterima dari hasil test bisa berubah dan menjadi tidak relevan lagi. Hal ini wajar Mengingat bahwa minat seorang remaja sangat labil dan mudah berubah.
Sehubungan dengan explorasi diri melalui internet atau media massa yang lain, remaja hendaknya berhati-hati dalam menginterpretasikan hasil-hasil yang di dapat dari test-test psikologi online melalui internet. Harap diingat bahwa banyak diantara test tersebut masih sebatas ujicoba dan belum dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Selain itu dibutuhkan kejujuran untuk mampu menerima diri apa adanya sehingga remaja tidak mengembangkan identitas "virtual" yang berbeda dengan diri yang asli. (baca juga artikel: Explorasi Diri Melalui Internet)

Selain beberapa dimensi yang telah disebutkan diatas, masih ada dimensi-dimensi yang lain dalam kehidupan remaja yang belum sempat dibahas dalam artikel ini. Salah satu dari dimensi tersebut diantaranya adalah dimensi sosial.

Tip untuk Orangtua
Dalam kebudayaan timur, masih banyak orangtua yang menganggap anak adalah milik orangtua, padahal seperti yang dituliskan oleh Khalil Gibran: Anak Hanya Titipan Sang Pencipta. Ia bukan kepanjangan tangan orangtua. Ia berhak memiliki kehidupannya sendiri, menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Tentu saja peran orangtua sangat besar sebagai pembimbing. Dalam usia remaja, kemampuan penentuan diri inilah yang semestinya dilatih. Remaja seperti juga semua manusia lainnya – belajar dari kesalahan. bB

Bagi para orangtua ada baiknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

Mulailah menganggap anak remaja sebagai teman dan akuilah ia sebagai orang yang akan berangkat dewasa. Seringkali orangtua tetap memperlakukan anak remaja mereka seperti anak kecil, meskipun mereka sudah berusaha menunjukkan bahwa keberadaan mereka sebagai calon orang dewasa.
Hargai perbedaan pendapat dan ajaklah berdiskusi secara terbuka. Nasihat yang berbentuk teguran atau yang berkesan menggurui akan tidak seefektif forum diskusi terbuka. Tidak ada yang lebih dihargai oleh para remaja selain sosok orangtua bijak yang bisa dijadikan teman.
Tetaplah tegas pada nilai yang anda anut walaupun anak remaja anda mungkin memiliki pendapat dan nilai yang berbeda. Biarkan nilai anda menjadi jangkar yang kokoh di mana anak remaja anda bisa berpegang kembali setelah mereka lelah membedakan dan mempertanyakan alternatif nilai yang lain. Larangan yang kaku mungkin malah akan menyebabkan sikap pemberontakan dalam diri anak.

Jangan malu atau takut berbagi masa remaja anda sendiri. Biarkan mereka mendengar dan belajar apa yang mendasari perkembangan diri anda dari pengalaman anda. Pada dasarnya, tidak ada anak remaja yang ingin kehilangan orangtuanya.

Mengertilah bahwa masa remaja untuk anak anda adalah masa yang sulit. Perubahan mood sering terjadi dalam durasi waktu yang pendek, jadi anda tidak perlu panik jika anak remaja anda yang biasanya riang tiba-tiba bisa murung dan menangis lalu tak lama kemudian kembali riang tanpa sebab yang jelas.

Jangan terkejut jika anak anda bereksperimen dengan banyak hal, misalnya mencat rambutnya menjadi biru atau ungu, memakai pakaian serba sobek, atau tiba-tiba ber bungee-jumping ria. Selama hal-hal itu tidak membahayakan, mereka layak mencoba masuk ke dalam dunia yang berbeda dengan dunia mereka saat ini. Berikanlah ruang pada mereka untuk mencoba berbagai peran yang cocok bagi masa depan mereka.

Ada remaja yang menurut tanpa membantah keinginan orangtua mereka dalam menentukan peran mereka, misalnya jika kakek sudah dokter, ayah dokter, kelak iapun “diharapkan dan disiapkan” untuk menjadi dokter pula. Namun ada juga anak remaja yang memang tidak ingin masuk ke dalam dunia yang sama dengan orangtua mereka. Dalam hal ini janganlah memaksakan anak mengikuti kehendak orangtua. Seperti Kahlil Gibran ….anak hanya titipan, ia milik masa depan dan kita milik masa lalu.

Kenali teman-teman anak remaja anda. Bertemanlah dengan mereka jika itu memungkinkan. Namun waspadalah jika anak anda sangat tertutup dengan dunia remajanya. Mungkin ia tidak/ kurang mempercayai anda atau ada yang disembunyikannya.

Selamat mencoba dan semoga bermanfaat. (jp)

Remaja Sebuah Prolog


Remaja adalah kekuatan, ia bagaikan sinar mentari, sesungguhnya mentari tidak dapat bersinar di senja hari secerah ketika di waktu pagi. Begitu juga pepohonan berbuah ketika masih muda, sesudah itu semua pohon tidak lagi menghasilkan apapun kecuali ranting. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah berakhirnya masa kanak-kanak. Pertumbuhan dan perkembangannya sangat cepat sehingga menyebabkan perubahan yang besar terhadap sikap, kesihatan dan keperibadiannya.
Remaja adalah insan yang mencari sesuatu dalam dirinya sendiri, kekalutan dalam menemukan titik identiti diri menyebabkan ia bagaikan meraba gajah di dalam gelap. Seseorang yang kebetulan memegang kaki gajah mengatakan bahawa gajah itu hanya sebesar bola, sedangkan seorang lagi terpegang telinganya mengatakan bahawa gajah itu lembut dan lemah seperti kelinci, begitu juga yang lain kebetulan memegang gadingnya mengatakan bahawa gajah itu kecil dan tajam. Begitulah persepsi para remaja dalam mengertikan kehidupan.
Remaja yang ingin melihat dirinya dalam bentuk yang utuh harus memahami akan hakikat dirinya sendiri agar tidak menjadi seperti meraba gajah di dalam gelap. Sesungguhnya di dalam diri insan terdiri dari unsur roh, jasad dan nafsu. Roh merupakan sumber kehidupan yang mengatur fikiran dan hati untuk bertanggungjawab kepada Ilahi. Jasad, berasal dari tanah dan akhirnya akan kembali ke tempat asalnya. Begitu juga nafsu, jika dibawa ke jalan yang lurus, maka akan luruslah kehidupan kita, namun jika diikuti kehendaknya maka tersesatlah dalam jurang kenistaan. Hiasi diri dan peribadi dalam menmpuh kehidupan yang mungkin masih panjang.

Jati diri Remaja
etiap remaja harus mempersiapkan diri sebagai khalifah Allah. Mereka harus mempunyai tujuan dan kesungguhan sebagai insan yang taat dan kreatif. Tujuan hidup yang tidak bercanggah dengan kehendak Islam hendaklah disemai ke dalam diri seorang remaja jika mereka mahu berjaya dan maju sebagai generasi yang cemerlang dan diberkati.

Pengendalian Diri
Remaja memerlukan pengendalian diri kerana remaja belum mempunyai pengalaman yang memadai dalam perkara ini. Masa remaja banyak menyentuh perasaan seorang remaja sehingga menimbulkan jiwa yang sensitif dan peka terhadap diri dan lingkungannya. Perkembangan ini ditandai dengan cepatnya pertumbuhan fizikal dan seksual. Akibat dari pertumbuhan fizikal dan seksual yang cepat itu maka timbullah kegoncangan dan kebingungan dalam diri remaja, khususnya dalam memahami hubungan lain jenis.
Dari keadaan yang dihadapi remaja ini akan menimbulkan dua masalah. Pertama dorongan seksual kerana ingin membuktikan bahawa diri telah dewasa sehingga berakhlak yang kurang sopan di tengah masyarakat, sehingga orang ramai menilai bahawa remaja hanya menimbulkan masalah. Padahal ketika itu remaja sedang meraba-raba dalam mencari jatidirinya.Kedua, mungkin juga remaja hilang kendali dalam dirinya sehingga lebih cenderung mengikuti nafsunya itu, ataupun remaja lebih suka menyendiri dan menutup diri.
Remaja yang merasakan bahawa fizikalnya sudah seperti orang dewasa sehingga ia merasa pula harus bersikap seperti orang dewasa untuk menutup keadaan dirinya yang sebenar harus memahami bahawa anggapannya itu hanya sekadar imitasi atau peniruan. Untuk itu remaja harus pandai mengendalikan diri dalam menghadapi dunia yang penuh dengan pancaroba dan gejolak ini. Hindarilah dari hanya mengikut kehendak hati, tapi gunakanlah fikiran agar setiap keputusan yang diambil benar-benar mengikuti citarasa ibu bapa, masyarakat dan agama.

Rasa Kebebasan Remaja
Pada usia remaja sangat memerlukan kebebasan emosional dan material. Kematangan dalam bidang fizikal atau tubuh mendorong remaja untuk berdikari dan bebas dalam mengambil keputusan untuk dirinya sehingga remaja terlepas dari emosi ibu bapa dan keluarga. Ramai ibu bapa tidak memahami keinginan yang tersimpan di dalam jiwa remaja, sehingga membatasi sikap, keperibadian dan tindakan-tindakan mereka, dengan alasan merasa belas kasihan dan lain-lain. Dengan cara ibu bapa sedemikian remaja merasa dirinya tidak dipercayai oleh orang tuanya, akibatnya remaja yang tidak memahami akan hakikat dirinya sendiri akan memberontak dan melawan kepada kedua ibu bapa.
Remaja yang beriman akan mengerti bahawa rasa kebebasan yang timbul dari dalam dirinya itu bukan selamanya harus dituruti, tetapi harus diatasi dengan cara yang bijaksana. Memang betul dalam satu aspek remaja memerlukan kebebasan untuk menentukan keputusannya, namun dari aspek lain remaja masih memerlukan orang tua untuk membimbing dan memberi tunjuk ajar kepadanya. Jadi berfikirlah secara positif agar tuntutan dalam diri itu tidak mengalahkan tuntutan dan kehendak mulia orang tua terhadap diri anaknya. Jika ini dapat diatur secara efektif maka tidak akan timbul konflik kejiwaan dalam diri seorang remaja.

Rasa Kekeluargaan Remaja
Sebetulnya keperluan remaja terhadap kebebasan diri sendiri dan ingin berdikari itu bertentangan dengan keperluannya untuk bergantung terhadap ibu bapanya. Gejolak jiwa tersebut membuat remaja merasa tidak aman, kerana dari satu aspek ia sangat memerlukan keluarganya, namun dari segi yang lain dia ingin berdakari. Pengalaman kejiwaan semacam ini menyebabkan remaja menjadi bingung dan tidak menentu. Bagi remaja yang mengerti peristiwa yang sedang menimpa jiwanya dia akan berhati-hati dalam mengmbil sebarang tindakan, sehingga ia akan menjadi remaja yang tidak tertekan perasaan.
Rasa kekeluargaan dalam diri remaja ini bukan saja terjadi dalam lingkungan ibu bapa dan sanak saudara, tetapi juga pada kelompok teman seperjuangan, organisasi, sukan dan lain-lain. Jika perasaan ini disemai dengan baik, maka remaja tidak akan mengalami stres dan tekanan perasaan dan menjadikan kecenderungan jiwanya itu ke arah yang positif.

Kehidupan Sosial Remaja
Remaja sangat memerlukan agar kehadirannya diterima oleh orang-orang yang ada dalam lingkungannya, di rumah, di sekolah ataupun dalam masyarakat di mana ia tinggal. Rasa diterima kehadirannya oleh semua pihak ini menyebabkan remaja merasa aman, kerana ia merasa bahawa ada dukungan dan perhatian terhadap dirinya. Perkara ini merupakan motivasi yang baik bagi diri remaja untuk lebih berjaya dalam menghadapi kehidupannya.
Penerimaan masyarakat terhadap diri seseorang berperanan dalam mewujudkan kematangan emosi. Pada umumnya remaja sangat peka terhadap pujian dan cacian disekitarnya sehingga menyebabkan remaja mudah tersinggung. Jika ini terjadi remaja hendaklah memahami bahawa tidak semua manusia itu dalam keadaan serba baik, kemungkinan kesilapan yang dilalakukan oleh masyarakat sekitar itu dapat mendorong kita lebih matang dalam menghadapi masalah. Remaja juga harus menyedari, kemungkinan juga cacian dan celaan itu timbul kerana kesalahan dari pihak remaja sendiri. Bagi remaja yang beriman akan menghadapi suasana sosial semacam ini dengan lebih tenang dan sabar, sehingga ia akan menjadi remaja yang berhasil dan cemerlang.

Penyesuaian Diri Remaja
Penyesuaian diri terhadap orang lain dan lingkungan sangat diperlukan oleh setiap orang, terutama dalam usia remaja. Kerana pada usia ini remaja banyak mengalami kegoncangan dan perubahan dalam dirinya. Apabila seseorang tidak berhasil menyesuaikan diri pada masa kanak-kanaknya, maka ia dapat mengejarnya atau memperbaikinya pada usia remaja. Akan tetapi apabila tidak dapat menyesuaikan diri pada usia remaja, maka kesempatan untuk memperbaikinya mungkin akan hilang untuk selama-lamanya, kecuali boleh didapati melalui pengaruh pendidikan dan latihan-latihan.
Remaja yang mampu menyesuaikan diri dengan orang lain dan lingkungannya mempunyai ciri-ciri antara lain; suka bekerjasama dengan orang lain, simpati, mudah akrab, disiplin dan lain-lain. Sebaliknya bagi remaja yang tidak mampu menyesuaikan dirinya dengan orang lain atau lingkungannya mempunyai ciri-ciri; suka menonjolkan diri, menipu, suka bermusuhan, egoistik, merendahkan orang lain, buruk sangka dan sebagainya. Jika kebetulan remaja belum mampu menyesuaikan diri dengan cara yang lebih baik, maka berusahalah ke arah pembinaan akhlak yang mulia, maka insya Allah suatu saat nanti kita akan mampu. Seorang remaja jangan lekas putus asa dan patah hati dalam menghadapi kehidupan ini jika ingin lebih sukses dan cemerlang di masa akan datang.

Keyakinan Agama dan Nilai Murni Remaja
Keinginan remaja terhadap sesuatu kadang kala tidak dapat dipenuhi kerana dihalangi oleh ketentuan agama dan adat kebiasaan di tengah masyarakat. Pertentangan itu semakin ketara jika remaja menginginkan sesuatu hanya menurut selera dan kehendaknya saja. Mereka berpakaian yang tidak senonoh, menonton video lucah dan berperangai tidak manis di pandang mata, padahal semua perbuatan ini berlawanan dengan ketentuan agama dan nilai-nilai murni. Bagi remaja yang padai menempatkan dirinya pada posisi yang betul maka dia akan menghindari segala keinginan yang tercela dari kehidupannya.
Pertentangan antara keinginan remaja dengan ketentuan agama ini menyebabkan jiwa remaja memberontak dan berusaha menepis kenyataan itu dengan menurutkan kata hatinya.Remaja yang berhemah tinggi dan berakhlak mulia serta mempunyai lingkungan keluarga yang menjalankan perintah agama, maka perkara ini dengan mudah mereka hadapi. Namun bagi remaja yang telah terlanjur melaksanakan sesuatu yang berlawanan dengan perintah agama hendaklah berusaha memperbaiki diri agar tidak sentiasa terlena dengan sesuatu pengaruh dan kenikmatan yang bersifat semantara itu.
Demikianlah di antara pengaruh atau gejolak jiwa yang terjadi dalam diri seorang remaja. Semuanya memerlukan perhatian remaja dalam memahami dirinya sendiri, serta perhatian ibu bapa agar ada saling pengertian dalam menghadapi dan memahami seorang insan yang berstatus REMAJA. Semoga informasi tentang remaja ini berguna dalam menjana para remaja dan pelajar dalam menghadapi abad yang penuh dengan cabaran dan godaan ini.

Penulis: HADISAPUTRA

REMAJA DALAM SOROT KESADARAN KRITIS

“Satu dari lima orang indonesia adalah remaja”(Data 2005)
REMAJA Menggugat Defenisi
Tulisan ini hanya sekedar ingin mempertanyakan sejak kapan istilah “remaja” mulai dikenal dan dipergunakan. Sejauh manakah batasan pengertian “remaja” tersebut?

Remaja biasanya didefenisikan sebagai masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Tidak ada batasan usia yang jelas untuk masa transisi ini, tapi kurang lebih dimulai sejak usia 12 tahun hingga akhir usia belasan atau awal usia 20-an tahun. Setidaknya ada tiga hal penting yang menandai peralihan masa remaja ini, yaitu perubahan fisik, pencarian dan pemantapan identitas diri, serta persiapan menghadapi tugas dan tanggungjawab sebagai manusia yang mandiri (Hilgard, 1979).

Sebetulnya ada banyak pertanyaan yang terlintas dalam pikiran seorang anak seiring dengan perubahan tubuhnya memasuki usia remaja. Pertanyaan-pertanyaan seperti “siapa diri saya?” dan apa tujuan hidup saya” menjadi persoalan yang sangat penting. Ini sebetulnya menjadi pertanyaan yang wajar bagi setiap orang yang memasuki usia dewasa. Persoalannya menjadi serius ketika pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan baik dan menjadi berlarut-larut.
Studi atas remaja pertama kali dilakukan oleh seorang sosiolog Talcott Parsons pada awal 1940-an. Berbeda dengan anggapan umum bahwa remaja adalah kategori yang bersifat alamiah dan dibatasi secara biologis oleh usia, menurut Parsons remaja adalah sebuah sebuah konstruksi sosial yang terus-menerus berubah sesuai dengan waktu dan tempat (Barker 2000).
Para pemikir cultural studies juga berpendapat konsep remaja bukanlah sebuah kategori biologis yang bermakna universal dan tetap. Remaja, sebagai usia dan sebagai masa transisi, tidak mempunyai karakteristik-karakteristik umum. Karena itu pertanyaan-pertanyaan yang akan selalu muncul adalah: secara biologis, kapan masa remaja dimulai dan berakhir? Apakah semua orang yang berumur 17 tahun sama secara biologis dan secara kultural? Kenapa remaja di Jakarta, Singapura, dan London tampak berbeda? Mungkin masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang menghunjam dalam benak kita.
Remaja adalah sebuah konsep yang bersifat ambigu. Kadang bersifat legal dan kadang tidak. Di Indonesia misalnya, ukuran kapan seseorang boleh mulai melakukan hubungan seks, ukuran kapan seseorang boleh menikah, dan ukuran kapan seseorang boleh berpartisipasi dalam Pemilihan Umum sangatlah berbeda. Dalam studinya tentang batas-batas kedewasaan di Inggris, A. James (1986) mengatakan bahwa batas usia fisik telah diperluas sebagai batas definisi dan batas kontrol sosial.
Sementara bagi Grossberg (1992) yang menjadi persoalan adalah bagaimana kategori remaja yang ambigu itu diartikulasikan dalam wacana-wacana lain, misalnya musik, gaya, kekuasaan, harapan, masa depan dsb. Jika orang-orang dewasa melihat masa remaja sebagai masa transisi, menurut Grossberg remaja justru menganggap posisi ini sebagai sebuah keistimewaan dimana mereka mengalami sebuah perasaan yang berbeda, termasuk di dalamnya hak untuk menolak melakukan rutinitas keseharian yang dianggap membosankan.
Hampir sama dengan pendapat itu, Dick Hebdige dalam Hiding in the Light (1988) menyatakan bahwa remaja telah dikonstruksikan dalam wacana “masalah” dan “kesenangan” (remaja sebagai pembuat masalah dan remaja yang hanya gemar bersenang-senang). Misalnya, dalam kelompok pendukung sepakbola dan geng-geng, remaja selalu diasosiasikan dengan kejahatan dan kerusuhan. Di pihak lain, remaja juga direpresentasikan sebagai masa penuh kesenangan, dimana orang bisa bergaya dan menikmati banyak aktivitas waktu luang.

Menurut Abdullah Nashih Ulwan, jika anak telah mencapai usia pubertas (usia 12-15 tahun), maka pendidik harus berterus terang atau menjelaskan, bahwa apabila keluar mani dengan memancar dan bersyahwat, berarti ia telah baligh. Ia berkewajiban memikul tanggungjawab dan beban seperti halnya orang-orang dewasa.

Remaja Menginjak Nilai
Kecendrungan remaja terhadap sesuatu kadang kala tidak dapat dipenuhi kerana dihalangi oleh ketentuan agama dan adat kebiasaan di tengah masyarakat. Pertentangan itu semakin tampak tatkala remaja menginginkan sesuatu hanya menurut selera dan kehendaknya saja. Mereka berpakaian yang tidak sopan, menonton film cabul dan berperangai buruk, padahal semua perbuatan ini berlawanan dengan ketentuan agama dan nilai-nilai universal. Bagi remaja yang pandai memposisikan dirinya pada tatanan nilai tersebut, maka dia dapat menghindari segala kecendrungan yang dianggap menginjak nilai.
Pertentangan antara keinginan remaja dengan ketentuan agama ini menyebabkan jiwa remaja memberontak dan berusaha melawan kenyataan itu dengan memperturutkan kata hatinya. Disinilah letak gejolak proses pencarian nilai pada diri remaja.
Remaja Menantang Abad 21
Tantangan yang dihadapi oleh remaja sekarang tentu saja memiliki ruang yang lebih kompleks sehingga stimulus, godaan, rangsangan kepada dunia mereka lebih varatif. Menurut KH. Toto Asmara, tantangan tersebut biasa disingkat dengan dengan istilah “7 F”. Yaitu Finance, Film, Food, Fashion, Fun, Free thinker dan Friction. Bagaimana menghadapi tantangan budaya global dengan menggunakan paradigma kini dan disini ?

Pertama, Finance. Para Remaja yang mengaku sebagai subyek perubahan, harus melek secara finansial. Mereka tidak manja dan terjebak pada pola hidup hedonis dan konsumtif, melainkan Remaja harus produktif dan memiliki sense kemanusiaan.

Kedua, Film. Harus diakui bahwa Film-Film yang beredar di masyarakat kini digerakkan oleh pemilik modal yang ingin mengeruk kapital sebanyak-banayknya. Remaja yang cerdas tidak akan bersikap menolak mentah-mentah produk Film yang menjual mimpi-mimpi dan gaya hidup materialistis. Melainkan mampu melakukan dialektika yang cerdas bukan sekedar keterampilan untuk menghujat dan mengecam produk-produk para kapitalis tersebut.

Ketiga, Food. Globalisasi telah membawa spirit universalisme dalam seluruh lini kehidupan. Dalam hal makanan, spirit ini direpresentasikan oleh KFC dan Mc Donald yang ingin melakukan penyeragaman rasa lidah penduduk bumi. Dalam melakukan perlawanan terhadap globalisasi yang dimotori oleh mesin kapitalisme ini, para Remaja hendaknya mampu berpikir dan bersikap kreatif menolak trend ini, misalnya dengan tetap merasa bangga dengan menikmati makanan lokal yang mungkin lebih lezat, seperti “Coto Makassar” ataupun “Sop Saudara”.

Keempat, Fun. “Hidup hanya sekali, karena itu gunakanlah hanya untuk bergembira ria”. Demikian jargon pola hidup yang dikampanyekan dan dibiuskan oleh media kapitalis. Sikap ini tidak salah, apabila Fun tidak sekedar dimaknai secara individual , yang justru membangun dan menumbuhkan sikap asosial. Fun harus dibangun dalam kerangka kebersamaan dan kesejahteraan bersama. Misalnya dengan jargon “Makan Nggak Makan Asal Kumpul” .

Kelima, Fashion. Setiap hari media menyuguhi kita dengan gaya fashion dari ujung kaki sampai ujung rambut. Akibatnya anak muda lebih cenderung pada gaya dan performance ala hollywood ketimbang tampil sebagai dirinya sendiri. Sikap yang harus dibangun adalah kejujuran apa adanya sesuai dengan kapasitas dan pandangan dunia yang kita anut.

Keenam, Free Thinker. Kebebasan berpikir sesungguhnya bukan masalah, melainkan ketika kebebasan berpikir itu tidak dalam bingkai humanisme-transendental. Spirit Mujahadah hendaknya senantiasa mengiringi anak-anak IRM dalam membingkai Kebebasan Berpikirnya.

Ketujuh, Friction. Dalam menghadapi bius budaya populer anak muda akan mengalami kegamangan hingga berujung pda split personality. Oleh karena itu Remaja harus membangun pandangan hidup yang cerdas, yang tidak menolak mentah-mentah tawaran budaya populis, namun juga tidak menerima apa adanya kebudayaan tersebut.

Kesadaran Kritis: Mazhab Remaja Cerdas
Remaja yang memiliki kesadaran kritis adalah remaja yang memiliki beberapa karakter mendasar.

Pertama, Sadar terhadap Realitas Sosial. Karakter Sadar mengisyaratkan adanya suatu kesadaran bahwa dunia dan realitas sosial bukanlah tatanan tertutup, given (apa adanya) dan tidak bisa diubah. Dunia dan realitas sosial merupakan hasil kreasi manusia yang tentu saja dapat diubah oleh manusia. Karakter ini mensyaratkan adanya kesadaran sebagai bagian dari dunia dan realitas sosial. Kesadaran ini akan mendorong lahirnya tanggung jawab terhadap realitas dan hasrat untuk menciptakan dunia dan realitas sosial dengan kondisi yang lebih baik.

Kedua, Peka terhadap Realitas Sosial. Karakter Peka berarti bahwa remaja kritis mampu mamahami berbagai kontradiksi sosial, politik, ekonomi, budaya, agama dan relasi masing-masing kelompok sosial dan suatu realitas. Pemahaman ini membawa kepada pengertian tentang adanya permainan dan tarik-menarik berbagai macam kepentingan antar kelompok dalam suatu realitas, termasuk didalamnya elemen remaja. Karakter peka ini artinya kemampuan mengurai adanya berbagai kontradiksi, relasi pelaku dan tarik-menarik kepentingan dari suatu fenomena (baca: peristiwa) dalam suatu realitas sosial.

Ketiga, Peduli terhadap Realitas Sosial. Karakter Peduli merupakan realisasi dari kesadaran dan tanggung jawab sebagai bagian dari suatu realitas sosial. Peduli menunjukkan hasrat, ketetapan hati dan komitmen serta konsisten bahwa realitas harus diubah dan terus diubah demi kondisi yang lebih baik. Peduli menjadi ruh bahwa ia harus terlibat dalam aksi perubahan realitas tersebut. Sedangkan karakter yang keempat adalah Aksi/Tindakan Nyata.Karakter Aksi/Tindakan adalah bentuk keterlibatan yang sebenarnya dalam proses perubahan realitas untuk kondisi yang lebih baik. Karakter ini mensyaratkan adanya pilihan keberpihakan yang jelas, keberpihakan kepada kelompok/golongan yang dirugikan/tertindas dalam suatu relasi dari realitas. Keberpihakan menjadi kunci utama dan pintu untuk melakukan aksi/tindakan yang sebenarnya.

Manakala konstruksi kesadaran kritis telah termassifikasi di kalangan remaja, maka sudah saatnya mereka memandu arah zaman. Bukan lagi menjadi obyek penderita yang harus menunggu untuk dipikirkan, diarahkan ataupun dijadikan kambing hitam atas dosa-dosa pihak tertentu. Kesadaran Kritis adalah mazhab remaja cerdas, mazhab kaum ABG menuju Subyek Perubahan.

NILAI DIRI SENDIRI

Mau Bagus atau Jelek, Tergantung Kita
Apa pun yang kita pikir tentang diri kita, itulah yang mungkin akan terjadi.
Bisa seram, bisa seru, coba saja.

Pernahkah enggak sih kita menilai diri sendiri, keluarga, teman, dan kehidupan disekitar kita? Pasti pernah khan ? Setelah proses menilai, kita lalu punya harapan, impian. Tetapi seringkali aspirasi & impian kita itu terlalu muluk-muluk sehingga kita merasa kecewa, marah atu bahkan putus asa karena apa yang kita impikan tidak tercapai.
Sesungguhnya dengan pengalaman pribadi & sosial yang semakin luas, kemampuan berpikir rasional, kita dihapkn lebih mampu untuk melihat diri kita, keluarga, teman-teman,bahkan kehidupan secara umum dengan cara yang lebih realistis. Misalnya kita menyadari bhawa kita tidak secantik Tamara, tapi kita bisa menerima diri kita sebagaimana adanya atu tidak harus pintar bicara seperti Nirina tapi bisa lancar berkomunikasi dengan teman-teman.

Perkembangan Konsep Diri
Konsep Diri merupakan semua perasaan & pemikiran seseorang mengenai dirinya sendiri. Hal ini meliputi kemampuan, karakter diri, sikap, tujuan hidup, kebutuhan dan penampilan diri. Gambaran pribadi remaja terhadap dirinya meliputi penilaian diri & sosial.
Konsep diri merupakan bagian penting dari kehidupan pribadi seseoarang,yaitu sebagai penentu bagaimana seseorang bersikap dan bertingkah laku. Dengan kata lain kita memandang diri kita tidak mampu, tidak berdaya dan hal-hal negatif lainnya, hal tersebut akan mempngaruhi kita dalam berusaha. Misalnya jadi malas mengerjakan PR karena merasa pasti gagal, merasa malas menjelang ujian karena merasa yakin akan mendapat nilai jelek. Hal itu juga berlaku sebaliknya jika kita merasa diri kita baik, bersahabat makaperilaku yang kita tunjukkan juga kan menunjukkkan sifat seperti itu, misalnya dengan rajin menyapa teman atu menolong orang lain.
Remaja dengan konsep diri positif lebih akan mengembangkan alternatif yang menguntungkannya yang bukan efek sejenak saja sehingga ia berpeluang menampilkan tingkah laku yang lebih produktif. Remaja dengan konsep diri negatif biasanya takut untuk mencoba. Kondisi ini tentu saja menghambat pengembangan diri.
Dalam konsep diri terdapat beberapaunsur antara lain :
1. Penilaian diri merupakan pandangan kita terhadap :
q Pengendalian keinginan dan dorongan-dorongan dalam diri. Bagaimana kita mengetahui dan mengendalikan dorongan , kebutuhan dan perasaan-perasaan dalam diri kita.
q Suasana hati yang sedang kita hayati aseperti bahagia, sedih atau cemas. Kondisi ini akan sangat mempengaruhi konsep diri kita positif atu negatif.
q Bayangan subyaktif terhadap kondisi tubh kita. Konsep diri yang positif akan kita miliki kalau kita merasa puas (menerima ) keadaan fisik kita. Sebaliknya kalau kita merasa tidak puas dan menilai buruk keadaan fisik kita maka konsep diri kita juga akan negatif atau kita jadi memilii perasaan rendah diri .

2. Penilaian sosial merupakan evaluasi terhadap bagaimana kita menerima penilaian lingkungan sosial pada diri kita. Penilaian sosial terhadap diri kita yang cerdas, supel akan mampu meningkatkan konsep diri dan kepercayaan diri kita. Adapun penilaian lingkungan kepada kita seperti si gendut, si bodoh atu si nakal akan menyebabkan kita memiliki konsep diri yang buruk tentang diri kita.
3. Konsep lain yang terdapat dalam pengertian konsep diri adalah self image atau citara diri yang merupakan gambaran :
Ø Siapa saya, yaitu bagaimana kita menilai keadaan pribadi seperti tin gkat kecerdasan, status sosial ekonomi keluaraga atau peran lingkungan sosial kita.
Ø Saya ingin jadi apa, kita memeiliki harapan-harapan dan cita-cita ideal yang ingin dicapai yang cenderung tiidak realistis. Bayang bayang kita mengenai ingin jadi apa nantinya, tanpa disadari sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokoh ideal yang menjadi idola, baik itu nada dilingkungan kita ataupun tokoh fantasi kita.
Ø Bagaimana Orang lain memandang saya, pertanyaan ini menunjukkan pada perasaan keberartian diri kita bagi lingkungan sosial maupun bagi dirikita sendiri.

Ketiga hal ini akan membentuk bagaimana kita menerima diri kita. Jika kita tidak menerima keberadaan kita, menjadi hal yang sulit untuk berharap orang lain dapat menerima keberadaan diri kita.
Menerima keadaan diri memang bukan hal yang mudah. Tapi biarpun nggak puas, keadaan diri yang berupa anugerah tuhan toh enggak bisa diubah kan ? Daripada pusing-pusing lebih baik kitaa jujur pada diri sendiri. Apa sih kelebihan dan kekurangan diri kita ? Bagian mana dari kekurangan kita yang bisa dihilangkan atau dikurangi ? Bagian mana dari kelebihan diri kita yang bisa dikembangkan atau dibuat lebih heat lagi ?
Nah, konsep diri yang terbentuk pada diri kita juga akan menentukan penghargaan yang kita berikan pada diri. Penghargaan terhadap diri (self esteem) ini meliputipenghargaan terhadap diri kita sebagai manusia yang memiliki tempat di lingkungan sosial kita. Penghargaan ini akan mempengaruhi kita dalam berinteraksi dengan orang lain. Jika kita menilai diri kita asyik-asyik saja, pantas-pantas saja bergaul dengan lingkungan yang paling hebat sekalipun, kita akan merasa santai dan enggak bermasalah nonkrong bareng di lingkungan orang hebat tersebut. Karena kita nyantai, mereka pun akan menanggapi kita dengan nyantai.
Selain kita mengenal konsep diri adapula yang disebut body image , yaitu bagaimana kita memandang tampilan fisik diri. Karena itu penting sekali membangun feeling good dalam diri kita. Memang kita tidak bisa merubah apa yang sudah diberikan Tuhan seperti waran kulit, mata, bentuk tubuh, golongan darah, tapi kita biasa me-make-upnya misalnya kalu memang kita gemuk, mungkin kita bisa menggunakan baju yang berarna gelap yang dapat menimbulkan kesan lebih kurus atau menggunakan motif garis-garis lurus kebawah, jangan yang melintang.
Harapan lingkungan, keluarga, dan teman sangat mempengaruhi perasaan kita akan body image . Adakalanya opini lingkungan ini sangat penting dan kita cenderung ingin memperoleh body image berdasarkan pada opini tersebut. Padahal jangan lupa, nyaman atau tidak nyamannya kita pada fisik kita, sangat dipengaruhi oleh pikiran kita sendiri.

( Disarikan dari Modul Pengembangan Diri PKBI )

Apa Pantas Berharap Surga?

Sholat dhuha cuma dua rakaat, qiyamullail (tahajjud) juga hanya dua rakaat,
itu pun sambil terkantuk-kantuk.
Sholat lima waktu?
Sudah jarang di masjid, milih ayatnya yang pendek-pendek pula...
Tanpa doa, dan segala macam puji untuk Allah,
Dilipatlah sajadah yang belum lama tergelar itu.
Lupa pula dengan sholat rawatib sebelum maupun sesudah shalat wajib.
Satu lagi, semua di atas itu belum termasuk catatan:.....
"Kalau tidak terlambat" atau "Asal nggak bangun kesiangan".
Dengan sholat model begini, apa pantas mengaku ahli ibadah?

Padahal Rasulullah dan para sahabat senantiasa mengisi malam-malamnya....
dengan derai tangis memohon ampunan kepada Allah.
Tak jarang kaki-kaki mereka bengkak oleh karena terlalu lama berdiri dalam khusyuknya.
Kalimat-kalimat pujian dan pinta tersusun indah seraya berharap .
Allah Yang Maha Mendengar mau mendengarkan keluh mereka.
Ketika adzan berkumandang, segera para sahabat meninggalkan semua aktivitas .
menuju sumber panggilan, ....
kemudian waktu demi waktu mereka habiskan untuk bersimpuh....
di atas sajadah-sajadah penuh tetesan air mata.

Baca Qur'an sesempatnya, tanpa memahami arti dan maknanya,
apalagi meresapi hikmah yang terkandung di dalamnya.
Ayat-ayat yang mengalir dari lidah ini tak sedikit pun membuat dada ini bergetar,
padahal tanda-tanda orang beriman itu adalah .....
ketika dibacakan ayat-ayat Allah maka tergetarlah hatinya.
Hanya satu dua lembar ayat yang sempat dibaca sehari, itu pun tidak rutin.
Kadang lupa, kadang sibuk, kadang malas.
Yang begini ngaku beriman?

Tidak sedikit dari sahabat Rasulullah yang menahan nafas mereka .
untuk meredam getar yang menderu saat membaca ayat-ayat Allah.
Sesekali mereka terhenti, ......tak melanjutkan bacaannya
ketika mencoba menggali makna terdalam ....
dari sebaris kalimat Allah yang baru saja dibacanya.
Tak jarang mereka hiasi mushaf di tangan mereka dengan tetes air mata.
Setiap tetes yang akan menjadi saksi di hadapan Allah ....
bahwa mereka jatuh karena lidah-lidah indah yang melafazkan ayat-ayat Allah .
dengan pemahaman dan pengamalan tertinggi.

Bersedekah jarang, begitu juga infak.
Kalau pun ada, itu pun dipilih mata uang terkecil yang ada di dompet.
Syukur-syukur kalau ada receh.
Berbuat baik terhadap sesama juga jarang,
paling-paling kalau sedang ada kegiatan bakti sosial, yah hitung-hitung ikut meramaikan.
Sudah jarang beramal, amal yang paling mudah pun masih pelit, yaitu senyum.
Apa sih susahnya senyum?
Kalau sudah seperti ini, apa pantas berharap Kebaikan dan Kasih Allah?

Rasulullah adalah manusia yang paling dirindui,
senyum indahnya, tutur lembutnya, belai kasih dan perhatiannya,
juga pembelaannya bukan semata milik Khadijah, Aisyah, dan istri-istri beliau yang lain.
Juga bukan teruntuk Fatimah dan anak-anak Rasulullah lainnya.
Ia senantiasa penuh kasih dan tulus terhadap semua yang dijumpainya, .
bahkan kepada musuhnya sekali pun.
Ia juga mengajarkan para sahabat untuk berlomba beramal shaleh,
berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya.

Setiap hari ribut dengan tetangga. Kalau bukan sebelah kanan, ....
ya tetangga sebelah kiri.
Seringkali masalahnya cuma soal sepele dan remeh temeh,
tapi permusuhan bisa berlangsung berhari-hari,
kalau perlu ditambah sumpah tujuh turunan.
Waktu demi waktu dihabiskan untuk menggunjingkan aib dan kejelekan saudara sendiri.
Detik demi detik dada ini terus jengkel...
setiap kali melihat keberhasilan orang dan berharap orang lain celaka .
atau mendapatkan bencana.
Sudah sedemikian pekatkah hati yang tertanam dalam dada ini?
Adakah pantas hati yang seperti ini bertemu dengan Allah dan Rasulullah kelak?

Wajah indah Allah dijanjikan akan diperlihatkan hanya .
kepada orang-orang beriman yang masuk ke dalam surga Allah kelak.
Tentu saja mereka yang berkesempatan hanyalah para pemilik wajah indah pula.
Tak inginkah kita menjadi bagian kelompok yang dicintai Allah itu?
Lalu kenapa masih terus bermuka masam terhadap saudara sendiri?

Dengan adik tidak akur, kepada kakak tidak hormat.
Terhadap orang tua kurang ajar, sering membantah, sering membuat kesal hati mereka,
apalah lagi mendoakan mereka, mungkin tidak pernah.
Padahal mereka tak butuh apa pun ...
selain sikap ramah penuh kasih dari anak-anak yang telah mereka besarkan .
dengan segenap cinta.
Cinta yang berhias peluh, air mata, juga darah.
Orang-orang seperti kita ini, apa pantas berharap surga Allah?

Dari ridha orang tua lah, ridha Allah diraih.
Kaki mulia ibu lah yang disebut-sebut tempat kita merengkuh surga.
Bukankah Rasulullah yang tak beribu memerintahkan untuk berbakti kepada ibu,
bahkan tiga kali beliau menyebut nama ibu sebelum kemudian nama Ayah?
Bukankah seharusnya kita lebih bersyukur saat ......
masih bisa mendapati tangan lembut untuk dikecup,
kaki mulia tempat bersimpuh,
dan wajah teduh yang teramat hangat dan menyejukkan?
Karena begitu banyak orang-orang yang tak lagi mendapatkan kesempatan itu.
Ataukah harus menunggu Allah memanggil orang-orang terkasih itu...
hingga kita baru merasa benar-benar membutuhkan kehadiran mereka?
Jangan tunggu penyesalan. .....
Bagaimanakah sikap kita ketika bersimpuh di pangkuan orang tua .
ketika Iedul Fitri yang baru berlalu ....???
Apakah hari itu....hanya hari biasa yang dibiarkan berlalu tanpa makna.........???
Apakah siang harinya....kita sudah mengantuk....dan akhirnya tertidur lelap...?
Apakah kita merasa sulit tuk meneteskan air mata...???
atau bahkan kita menganggap cengeng......???
sampai sekeras itukah hati kita....???
Ya...Allah .ya Rabb-ku......jangan Kau paling hati kami menjadi hati yg keras......,
sehingga meneteskan air matapun susah.......
merasa bersih......merasa suci....
merasa tak bersalah......merasa tak butuh orang lain......
merasa modernis.....dan visionis.........
Padahal dibalik cermin masa depan yang kami banggakan.....
terlukis bayang hampa tanpa makna.....dan kebahagiaan semu penuh ragu.....

Astaghfirullaah ......Yaa Allah...ampunilah segenap khilaf kami. Amin